Kampung Tongging, salah satu desa asal Merga Ginting
Inilah kisah Sang Merga Ginting dari
urang Kalasen ke Tinjo
Lahirlah anak pengulu Tinjo laki-laki,
dibaca harinya hari sial, maka diundanglah sanak saudara pengulu Tinjo,
“Bunuhlah anak ini, jika tidak dibunuh maka aku akan mati” kata pengulu Tinjo.
“Jika Pengulu berkata demikian, maka
baiklah” jawab orang-orang itu, tetapi seorang adik Pengulu Tinjo yang bungsu
berkata, “ Jangan dibunuh, baiklah aku akan pergi membawa anak ini, bersama dua
orang ini sebagai pembantuku”. Maka pergilah adik Pengulu TInjo (bapa ngudanya)
membawa anak itu ke luar dari kampung.
Sesampainya di luar kampung diambil
bapa ngudanya getah pohon mbetung untuk diminum anak itu. Pa Udanya memiliki
seekor kerbau putih, ketika kerbaunya itu
melahirkan dibunuhlah anaknya. Kemudian diikatkan induk kerbaunya ke batang Pisang Galoh Sitabar, ketika kerbaunya rebah
maka anak itu meminum susu kerbaunya dengan naungan pohon Galoh Sitabar.
Di kampung Pengulu Tinjo mengalami
penyakit, maka diundanglah adiknya ke kampung,
“Jika aku pergi kakanda, berikanlah
segenggam tanah yang dari Urang Kalasen dahulu, dan bagaimana kelak cara menimbangnya?”
“Dimana adinda temui daerah yang baik,
ambillah tanahnya segenggam dan timbang , jika timbangannya sama maka baiklah
tanah itu”
“Dan namakanlah anak itu si Matangken,
dipantangkannyalah kiranya pisang galoh sitabar, kerbau putih dan mbetung”
Maka berangkatlah si Matangken bersama
bapa ngudanya, dengan membawa kerbaunya si kerbau putih. Sepanjang jalan
diambil tanah segenggam dan ditimbang dengan tanah segenggam yang dari Urang
Kalasen tapi taka da satupun yang sama,
sampailah mereka di Lau Lingga ditimbang tanahnya maka samalah timbangannya,
maka disanalah mereka mendirikan perkampungannya.
Suatu hari berkatalah si Matangken
kepada bapa ngudanya,”Hendaklah kita buat jerat diatas bukit”, maka dibuatlah jerat keatas bukit itu.
Keesokan harinya saat melihat hasil jeratnya, ternyata yang terkena adalah anak
Si Raja Umang seorang gadis yang sangat rupawan,
“Kenapa kau sampai terkena jeratku
ini?”, kata si Matangken,
“Janganlah berkata kasar kepadaku, aku
ini jatuh dari langit. Jikalau engkau rindu kebaikan datang kepadamu, aku
menjadikan engkau menjadi raja di Lau Lingga ini. Tapi berjanji kita jika anak
Raja Umang jatuh dari langit, engkau tidak boleh berkata kasar kepadanya, atau
kau akan mati” jawab si Putri Umang. Maka dinamakan Gunung itu Gunung
Sibolangit dan menikahlah si Matangken dengan anak Si Raja Umang.
“Jika engkau telah menikah, ingat akan alah
mu,” kata orang-orang kepada si Matangken yang kini menjadi raja di Lau Lingga,
maka diundanglah guru sibaso agar berkomunikasi dengan alahnya.”
Buatlah kandang kerbau dan kandang kuda
demikian berkata alahnya melalui guru sibaso. Tetapi tidak ada seekor kerbaupun
dimiliki Raja, maka orang-orang itupun pun menjadi congkak kepada Raja Lau
Lingga, orang-orang itu pun mempermalukan Raja dengan membuat gerbang dan kunci
kandang yang kosong itu, merekapun menguncinya dan membukanya pada pagi
harinya, sampai hari yang keempat kandang itu tetap kosong tidak berisi.
Pada hari yang kelima dibuka kunci dan
gerbangnya, sekonyong-konyong turun segerombol kerbau 30 ekor kerbau dari Gunung Pujan terus masuk
kedalam kandang itu. Maka dijadikanlah Gunung pujan sebagai tempat persembahan
Raja Lau Lingga. Maka makmurlah sekarang Raja Lau LIngga.
Lalu datanglah marga Perangin-angin
dari Tambahen yang bernama Pinem. “Sungguhlah makmur Tuan Raja kulihat, tapi
satu kekurangan dari Tuan Raja, Tuan Raja bermandikan air sungai, di lembah
pinggir kampung ini buatlah kiranya pemandian Tuan Raja,” kata si Pinem kepada
Raja. “Jika engkau berkenan membuat pemandian disitu, maka aku akan menikahkan
engkau, tetapi buatlah pancurannya dari emas, dan kumpulkan sanak saudaramu,
daun sirih Sembilan sebelas, dan kain uis satu lembar” jawab Raja.
Maka dipersembahkan sirih dibawah mata
air itu, maka disitulah si Pinem membuat pancuran untuk Raja. Dan menikahlah si Pinem ke keluarga Raja,
ditempah olehnya pancur emas sesta. Jika raja hendak mandi maka disambungkanlah
pancur emas itu dan setelah selesai pancur emas dibawa pulang.
Si Pinem pun mendirikan kampung dan
dinamai kampung Pinem, disana lahir anaknya yang sulung diberi nama si Enggang,
jadi kesemua marga Pinem asalnya dari kampung Pinem.
Didirikan oleh Raja Lingga balai
pertemuannya dengan pengulu Pinem yang dinamakan Balai Selawang. Suatu ketika dating
marga karo-karo dari Linggaraja yang bernama menemui pengulu Pinem, si
Mandoropih dinikahkan oleh Pengulu Pinem, maka semua marga Karo-karo keturunan
si Mandoropih awalnya dari Pinem.
Kemudian bertemulah si Mandoropih dan
Pengulu Pinem dengan Raja Lau LIngga, maka didirikan Balai Pengulu Balang,”Jika
ada masalah tidak terselesaikan disini maka dibawa ke Balai Selawah” demikian
kata Raja Lau Lingga.
Ada seorang adik dari Raja Lau Lingga
yang bernama si Berneh pergi ke rumah berneh Juhar, sebab itu ada Balai Uruk berteng Juhar balai
perjumpaan Raja Lau Lingga dengan adiknya Pengulu Rumah Berneh.
Diterjemahkan dari buku Pusataka Ginting Tulisan Alm. JH. Newman
bersambung......